Sabtu, 18 April 2009

"kita adalah Da'i sebelum apapun"


Bercermin dari Para Militan di Sekeliling Kita-----------------------------------------------------------------Oleh : dr. Ahmad JamalludinAda banyak orang di sekeliling kita yang dalam hal militansi sangat pantas untuk kita jadikan tauladan. Kadang kita melewatkan kesempatan untuk belajar tentang militansi dari mereka. Mereka bisa jadi orang-orang yang dekat dengan kita, yang seringkali membuat kita merasa malu saat kita membandingkan amal kita dengan amal merekaMilitan Pertama yang Kita Kenal. Militan pertama yang saya kenal adalah seorang wanita yang saya panggil Ibu. Ibu saya bukanlah orang yang biasa memberikan nasihat-nasihat kehidupan dengan lemah lembut. Beliau orang yang terbiasa bekerja keras dan akrab dengan derita kehidupan, dan itulah nasihat-nasihat yang saya dapatkan dari ibu saya, bukan hanya kata-kata tapi sikap beliau menghadapi sulitnya hidup ini. Beliau mengajari saya bahwa kesulitan adalah bagian terbesar dalam kehidupan, sehingga kerja keras menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Mengajarkan bagaimana menghadapi kepedihan saat kenyataan mematikan harapan, dan mengajarkan bahwa menderita dan berkorban demi orang-orang yang kita cintai adalah suatu kehormatan. Pada tahun pertama di FKUI saya sempat mengeluh pada ibu, bagaimana letihnya menanggung beban akademis, tekanan Mabim, tiap hari harus bolak-balik Ciledug-Salemba, berangkat di pagi buta pulang di gelap malam, berdesakan di bus, terjebak macet, dan lain-lain. Dengan gaya Betawi-nya ibu saya memberikan jawaban yang kurang lebih seperti ini, "Banyak orang yang hidupnya lebih susah dari kita, tapi kaga cengeng kaya Elu. Elu kan laki-laki, bakal jadi kepala keluarga. Lu kudu siap kerja keras buat keluarga lu nanti". Setelah itu saya tidak mau lagi mengeluh pada ibu. Malu. Terlepas dari kekhasan dan gaya tiap ibu dalam menunjukkan kasih sayangnya, saya pikir kita harus melihat sisi lain dari kasih sayang ibu, yaitu kerelaan berkorban dan bekerja keras untuk kita yang dicintainya. Sayang betul kalau kita hanya mampu menikmati kasih sayangnya tanpa memaknai bahwa kasih sayang tidak selalu berarti kelembutan, tapi juga militansi untuk berjuang demi mereka yang kita cintai.Kaum Militan yang Tidak Saling Mengenal Tapi Saling MencintaiPernah Antum/Antunna berinteraksi dengan ikhwah kita di luar kampus, yang bukan dan belum pernah menjadi mahasiswa? Demonstrasi mahasiswa dengan rakyat adalah wujud interaksi antar ikhwah yang paling berkesan bagi saya. Saya melihat orang-orang yang tidak kita kenal, dan mereka pun tidak mengenal kita, tapi siap mempertaruhkan nyawanya demi kita, ikhwah mahasiswa. Mereka menjadikan diri mereka sebagai border untuk melindungi mahasiswa. Ada yang pekerjaannya karyawan kantor, ustadz, buruh pabrik, dan penjual topi. Ada ikhwan yang saya tahu pekerjaannya tukang bakso dan kernet bus Mayasari Bakti jurusan Ciledug-Pasar Baru. Ada yang datang dari Bekasi, Tangerang, Bogor untuk ikut aksi bersama kita. Beberapa kali bahkan ada yang datang dari Cirebon dan Bandung, dan mereka datang dengan biaya mereka sendiri. Mereka bolos kerja berhari-hari dengan ancaman di-PHK demi memenuhi seruan dakwah. Bandingkan dengan kita yang masih sangat enggan untuk bolos kuliah, walaupun seruannya sudah tahap qororot, yang kalau tidak dipenuhi harus di’iqob.Padahal kita tidak diancam DO, bahkan sekedar ancaman tinggal kelas pun tidak (tiap bagian kan ada jatah bolos). Paling kita hanya harus sedikit repot menjelaskan kepada dosen tentang ketidakhadiran kita. Saya tidak menganjurkan untuk rajin-rajin bolos kuliah, tapi kita harus pintar-pintar memilih agenda apa yang harus diutamakan pada suatu waktu. Sehingga kita dapat bolos kuliah di saat yang tepat. Kadang-kadang kita memboroskan waktu senggang kita dengan sia-sia; jatah bolos kuliah disia-siakan untuk cabut kuliah dengan alasan yang tidak penting, waktu luang bukannya untuk belajar malah untuk nonton TV dan baca komik. Padahal ada saat jatah bolos kuliah kita butuhkan untuk memenuhi seruan dakwah, dan ada pula saat seruan dakwah datang saat dekat-dekat waktu ujian, yang sebenarnya tidak akan bermasalah kalau kita sudah belajar jauh-jauh hari saat kita masih punya waktu luang. Orang-orang Militan yang Mengakui Kita sebagai Saudara Mereka Pernah Antum/Antunna melihat dan menilai bagaimana saudara-saudara kita dalam menjalankan amanah dakwahnya? Memang ada yang tidak bisa disebut militan, tapi banyak pula yang luar biasa militannya sampai-sampai kita merasa malu untuk bermalas-malasan. Ada yang dengan sadar dan tanpa keterpaksaan memilih untuk tinggal kelas, dengan pertimbangannya sendiri bahwa amanah dakwahnya lebih penting dari keinginannya untuk lulus tepat waktu. Ada pula para ikhwan yang pernah bermalam (bermalam, bukan tidur) di tengah hutan sampai ada yang kena serangan asma, karena melaksanakan tugas sebagai panitia mukhoyam. Atau saking letihnya berdemonstrasi sampai tertidur beralaskan aspal halaman gedung DPR/MPR. Bayangkan pula keletihan dan semangat sekelompok ikhwan, yang menjadi panitia dan tim nasyid pada walimah saudaranya. Malam sebelumnya berlatih nasyid sampai dini hari, paginya kebetulan jadi tim medis mengawal rombongan Katibah longmarch Pasar Minggu-Cibubur, siangnya memberikan pelatihan medis, sore menjadi tim nasyid dan panitia walimah, dan malamnya lagi jadi tim medis mengawal kepanduan longmarch Bogor-Jakarta sampai siang keesokan harinya. Dan sepanjang waktu itu tak terdengar keluhan sedikitpun. Yang terdengar yel-yel dan nasyid yang membangkitkan semangat (dan tawa canda yang menyegarkan). Dan saya, yang lemah dan kadang cengeng ini, merasa sangat beruntung ketika para ikhwan militan ini bersedia mengakui saya sebagai bagian dari mereka (saudara-saudaraku, uhibbukum fiLlah!). Ikhwah fiLlah, saudara-saudara kita adalah orang-orang yang pantas saya hormati karena kesungguhannya dalam berdakwah. Terlebih lagi saudara-saudara kita yang karena posisi strukturalnya dalam dakwah (mas’ul/mas’ulah, ketua, dan lain-lain) mendapat amanah lebih berat dari yang lain, mereka saya hormati dengan sepenuh hati. Saudara-saudara kita dalam jalan dakwah ini adalah orang-orang tempat kita bercermin. Saat kita merasa puas dengan kualitas diri kita sendiri, kita melihat saudara-saudara kita adalah orang-orang dengan kualitas yang, subhanaLlah, jauh lebih baik dari kebanyakan orang (diri saya ini termasuk kebanyakan orang). Dan kemudian kita merasa malu karena baru segini aja udah puas. Atau saat kita merasa bangga dengan amal-amal dakwah kita, kita melihat bagaimana kesungguhan dan dedikasi saudara-saudara kita, bagaimana mereka berkorban dan berinfaq tanpa perhitungan demi dakwah, dua puluh empat jam siap tempur dan siap panggil. Mereka tidur dengan handphone menyala di samping telinganya, siap dibangunkan kapan saja. Hingga rasa bangga (‘ujub) kita berubah menjadi malu, karena ada yang lebih pantas untuk bangga daripada kita. Dan tidak ada rasa kebanggaan dalam hati saya yang melebihi rasa bangga saat orang-orang militan ini mengakui saya sebagai saudara mereka. Tidak ada harapan yang lebih besar dalam diri saya selain harapan agar Allah ‘azza wa jalla tetap mempersatukan kita dalam dakwah ini, meneguhkan langkah kita, dan mempersatukan kita kembali di surga-Nya. Saya sadar betul bahwa begitu banyak kekurangan dan kesalahan dalam buah pikiran saya. Bahkan mungkin lebih banyak kesalahannya dari pada kebenarannya, hingga saya sangat berharap agar Antum/Antunna berkenan untuk menunjukkan kesalahan tulisan ini, menanggapinya untuk menambahkan atau mengurangi, untuk saling memberi manfaat kepada sesama saudara. []---sumber : http://www.hudzaifah.org/Article545.phtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar